News

UMKM JAWA BARAT: DAYA SAING DARI AKAR LOKAL.

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.

Di tengah gempuran ekonomi global yang kian kompleks dan disruptif, perhatian terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bukan sekadar strategi sosial-ekonomi, melainkan sebuah keharusan struktural dalam membangun ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional. Jawa Barat, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia serta struktur sosial yang dinamis dan heterogen, menyimpan potensi luar biasa dalam sektor UMKM, terutama pada bidang kuliner, fesyen, dan kriya. Namun demikian, potensi tersebut belum sepenuhnya terkonversi menjadi keunggulan bersaing yang berkelanjutan di tingkat nasional, apalagi global. Pertanyaannya: mengapa potensi tersebut belum menjelma menjadi kekuatan ekonomi nyata?

Data dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat (2024) menyebutkan bahwa Jawa Barat memiliki jumlah UMKM sebanyak 4,63 juta yang didominasi usaha mikro sebesar 85,02%, disusul oleh usaha kecil sebesar 13,60% dan usaha menengah besar sebesar 1,38%.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 60% bergerak di sektor kuliner, 17% di sektor fesyen, dan sisanya tersebar pada sektor kriya, jasa, serta sektor-sektor lainnya. Kota Bandung, yang sering disebut sebagai jantung kreativitas urban di Indonesia, menyumbang lebih dari 300.000 UMKM aktif, terutama pada klaster makanan-minuman serta industri fesyen yang berbasis pada kekayaan lokal. Produk-produk kuliner seperti seblak, batagor, dan peuyeum tidak hanya mencerminkan kelezatan rasa, tetapi juga merupakan representasi dari identitas budaya masyarakat Sunda yang adaptif dan inovatif. Di sisi lain, produk fesyen seperti batik Garutan, bordir Tasikmalaya, dan busana muslim dari Bandung memperlihatkan kolaborasi harmonis antara warisan tradisi dan eksplorasi modernitas. Namun di balik keunikan tersebut, terdapat persoalan struktural seperti lemahnya branding, belum konsistennya kualitas produk, serta keterbatasan dalam pemanfaatan teknologi dan akses pasar.

Teori keunggulan kompetitif dari Michael E. Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing nasional maupun regional sangat dipengaruhi oleh penguatan klaster industri berbasis nilai lokal. Dalam konteks Jawa Barat, seluruh elemen dasar untuk membentuk klaster tersebut sejatinya telah tersedia—yakni tradisi budaya yang kuat, komunitas sosial yang kokoh, serta populasi pelaku usaha yang besar. Namun, jika tidak disertai dengan penguatan kapasitas institusional, kolaborasi lintas sektor, dan orkestrasi strategi pengembangan, semua itu hanya akan menjadi potensi tidur (latent power). Pendekatan dynamic capability sebagaimana dirumuskan oleh Teece, Pisano, & Shuen (1997) menjadi sangat relevan dalam konteks ini. UMKM tidak cukup hanya memiliki sumber daya, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk belajar secara cepat, beradaptasi dengan perubahan, serta melakukan inovasi dalam proses maupun produk. Oleh karena itu, pelaku UMKM di Jawa Barat dituntut menjadi pembelajar strategis yang tangkas dan responsif terhadap dinamika lingkungan bisnis.

Transformasi digital menjadi arus besar yang tak terhindarkan. Laporan dari Google-Temasek-Bain (2023) memperkirakan bahwa ekonomi digital Indonesia akan menembus angka USD 130 miliar pada 2025, dengan UMKM sebagai pendorong utama. Namun data McKinsey (2022) mengungkapkan bahwa hanya sekitar 25% UMKM Indonesia yang mengadopsi teknologi digital secara optimal—angka yang bahkan lebih kecil jika mengacu pada kawasan non-metropolitan seperti daerah kabupaten di Jawa Barat. Ini menegaskan bahwa digitalisasi bukan hanya soal ketersediaan teknologi, tetapi juga soal kapabilitas manusia dan institusi. Maka intervensi pemerintah daerah harus melampaui slogan “UMKM Go Digital”, dan diarahkan pada pembentukan ekosistem pembelajaran yang konkret, akses teknologi yang merata, serta konektivitas antar pelaku usaha. Program seperti Desa Digital, Inkubator UMKM, dan digitalisasi pasar tradisional tidak boleh hanya menjadi proyek simbolik, melainkan wahana eksperimen sosial-ekonomi yang terstruktur dan terukur.

UMKM Jawa Barat juga menghadapi dilema strategis antara menjaga kearifan lokal dengan memenuhi tuntutan globalisasi. Konsep co-creation of value dari Prahalad & Ramaswamy (2004) menunjukkan bahwa dalam ekonomi modern, daya saing tidak lagi dibentuk hanya melalui produksi barang, melainkan melalui penciptaan nilai bersama antara produsen dan konsumen. Dalam hal ini, UMKM ditantang untuk merancang narasi produk yang kuat, menjalin relasi emosional dengan konsumen, serta memasarkan identitas budaya lokal dalam format komunikasi yang diterima oleh pasar global. Pendekatan glocalization (Robertson, 1995) dapat digunakan sebagai jembatan antara lokalitas dan globalitas, di mana produk lokal dikemas dan disampaikan dengan standar global. Contoh nyatanya adalah batik asal Cirebon atau Garut yang disajikan dengan kemasan modern dan didukung oleh storytelling digital, sehingga mampu menembus pasar diaspora Indonesia di Eropa dan Timur Tengah, sekaligus menjangkau konsumen etnik di Asia Tenggara.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah urgensi perubahan paradigma kebijakan. Penguatan UMKM tidak dapat didelegasikan semata kepada pelaku usaha itu sendiri. Ia merupakan agenda publik yang membutuhkan keberpihakan negara dan masyarakat sipil. Pemerintah daerah perlu berani melakukan pemetaan potensi berbasis data spasial dan sosial-budaya. Dalam hal ini, pendekatan place-based policy dari OECD (2020) dapat menjadi alternatif strategi pembangunan: bahwa setiap wilayah memiliki karakter unik dan solusinya tidak bisa diseragamkan. Jawa Barat dengan kekayaan identitas lokal dan keanekaragaman sosialnya layak memiliki desain kebijakan yang tailor-made. Selain itu, dukungan fiskal dan nonfiskal harus disesuaikan dengan tahap perkembangan usaha. UMKM tahap awal membutuhkan pendampingan, pelatihan, dan akses modal mikro, sedangkan UMKM ekspor memerlukan kemudahan legalitas, perlindungan hak cipta, serta konektivitas logistik dan informasi pasar internasional.

Jika dikelola secara cermat dan berkelanjutan, UMKM Jawa Barat tidak hanya menjadi tulang punggung ekonomi mikro, tetapi juga bertransformasi menjadi engine of growth yang inklusif dan berkeadilan. Sektor kuliner dan fesyen bukan sekadar arena aktivitas ekonomi, melainkan juga pintu masuk menuju penguatan ekonomi lokal dengan nilai tambah tinggi. Namun, ini semua hanya dapat tercapai bila tersedia ekosistem yang sehat—yakni sinergi antarpemangku kepentingan, akselerasi digital, penguatan klaster, serta regulasi yang berpihak. Jawa Barat telah memiliki semua bahan dasar: modal sosial, budaya, dan demografi. Kini saatnya menjadikannya sebagai keunggulan bersaing yang strategis, terukur, dan berkelanjutan dalam lanskap ekonomi nasional dan global.

*Penulis adalah Dosen Kewirausahaan Universitas BTH & Direktur Kemitraan Perkumpulan Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI).

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.